Perang Dagang China vs USA

Hello mina-san, jumpa lagi dengan mimin blog sebuahkisah12. Kali ini mimin akan membahas tema yang lumayan berat nih, yakni perang dagang antara negeri adidaya yakni Amerika dengan Republik Rakyat Tiongkok. Yups, issue ini sudah mencuat dan menggemparkan dunia persilatan (perekonomian ding, hhe). Yosh kita mulai aja pembahasannya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat merupakan poros ekonomi dunia, dimana mata uang negara ini, yakni dollar Amerika, menjadi patokan nilai tukar mata uang di seluruh dunia. Selain itu, tarif ekspor dan impor juga dipengaruhi oleh mata uang dari negara ini. Akibatnya, jika kondisi perekonomian negara ini goyah maka akan berdampak langsung ke seluruh dunia. Sebagai contohnya krisis ekonomi yang terjadi di negara ini beberapa waktu lalu membuat nilai tukar mata uang di seluruh dunia melemah terhadap dollar. Sehingga berdampak pada negara yang mengandalkan barang – barang impor, harga barang yang diimpor menjadi meningkat tajam dan ujung – ujungnya berdampak pada perekonomian negara importir. Sedangkan bagi eksportir sangat menguntungkan karena harga barang yang dijual akan menjadi mahal dan memperoleh keuntungan yang berlipat.

Cina atau Republik Rakyat Tiongkok kini tampil sebagai negara dengan kekuatan ekonomi yang mulai diperhitungkan di dunia. Perkembangan ini dimulai sejak kurang lebih 40 tahun lalu sejak China mulai membuka diri dengan perdagangan luar negeri. Seperti yang diungkapkan oleh Wayne M. Morrison, sebelum reformasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dilakukan, China mempertahankan kebijakan ekonomi tertutup yang menyebabkan China memiliki warga yang rata - rata sangat miskin, pertumbuhan  ekonomi yang stagnan, dikendalikan secara terpusat, jauh tidak efisien, dan relatif terisolasi dari ekonomi global. Namun sejak reformasi tahun 1979, China telah menjadi negara yang memiliki tingkat pertumbuh ekonomi paling cepat di dunia, dengan produk domestik bruto tahunan (PDB) rata-rata pertumbuhan 9,5 % hingga 2017, kecepatan yang dijelaskan oleh Bank Dunia sebagai “pertumbuhan ekonomi tercepat dalam sejarah”. Pertumbuhan ekonomi China tersebut rata-rata, dua kali lipat PDB setiap delapan tahun dan terus meningkat, dan diperkirakan 800 juta orang keluar dari zona kemiskinan.

Sejarah dari pesatnya pertumbuhan ekonomi ini dimulai dari tahun 1950, dimana kebijakan pemerintah pada masa itu menginstruksikan bahwa semua peternakan rumahan dijadikan sebuah komunitas yang besar (kalau di Indonesia mungkin buat kelompok tani kali yak). Kemudian pemerintah melakukan investasi besar – besaran dalam modal fisik dan manusia selama tahun 1960-an dan 1970-an, hal ini untuk mendukung industrialisasi yang pesat. Yang pada akhirnya pada 1978 hampir tiga-perempat dari produk industri dibuat secara terpusat dan dikontrol oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan diproduksi menurut target produksi yang direncanakan secara terpusat. Pelarangan pendirian perusahaan swasta dan investasi asingpun diterapkan. Kebijakan pemerintah China ini bertujuan untuk membuat perekonomian China relative mandiri. Dan perdagangan luar negeri dibatasi hanya untuk mendapatkan barang – barang yang tidak dapat dibuat atau diperoleh di China.

Kalau baca jurnal dari Wayne, mimin jadi inget cerita guru mimin waktu STM, salah satu faktor yang membuat China berkembang pesat adalah industry rumahannya yang sangat kreatif, dimana kita lihat saja banyak barang yang ada di rumah kita, missal silet, jarum, atau mainan anak – anak, pasti made in China. Hal ini mengindikasikan bahwa industry rumahan yang ada di China memang menjadi salah satu faktor kunci dalam pertumbuhan perekonomian di China.

Pengaruh pertumbuhan ekonomi gelobal China dan kebijakan ekonomi dan perdagangan memiliki implikasi yang signifikan bagi Amerika. China merupakan pasar yang besar dan berkembang untuk perusahaan - perusahaan Amerika.

Dilansir dari bbc.com (4/4/2018), pertanggal 2/4/2018, sudah terjadi penurunan harga bahan baku baja 8% di dalam negeri China karena pengusaha di negara tersebut khawatir barangnya tidak terjual akibat kenaikan tariff yang menghambat ekspor ke Amerika Serikat.

Akhirnya, China memberlakukan tarif bea masuk hingga 25% terhadap 128 produkimpor dari AS, antara lain daging babi dan minuman anggur, sebagai pembalasan atas langkah presiden AS, Donald Trump yang menaikan bea atas impor baja dan aluminium awal Maret lalu. Cukai impor ini berdampak pada berbagai barang seniai US$3miliar (Rp 41 triliun) yang berlaku mulai senin (2/4/2018).

Kebijakan Presiden Trump yang dianggap menyebabkan perang dagang yang berbahaya bagi dunia ini, dipertanyakan berbagai pihak. Mereka memandang masalah perdagangan seharusnya diselesaikan lewat forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) seperti yang diklaim telah dilakukan Beijing, sebelum membalas kebijakan Trump.
Sejalan dengan teori Instrumen kebijakan perdagangan yang menyebutkan bahwa kebijakan perdagangan menggunakan tujuh instrument utama yakni, tariff, subsidi, kuota impor, pembatasan ekspor sukarela, persyaratan konten utama, kebijakan administrasi, dan antidumping. Dimana tarif merupakan instrument kebijakan perdagangan tertua dan paling sederhana. Tarif sebenarnya digunakan untuk melindungi produsen dalam negeri, namun dalam kasus China dan Amerika justru tarif dipergunakan untuk saling menjatuhkan satu sama lain dalam artian yang lebih sederhana.

Namun beberapa pihak menganggap hal itu hanyalah ‘gertak sambal’ artinya tidak bertahan lama. Hal ini menurut beberapa ahli bisa dilihat dari kejadian sebelumnya, dimana kebijakan Presiden ke-45 Amerika tersebut juga memberlakukan  hal yang sama pada Kanada dan Meksiko, padahal baja dari Amerika ke RRT hanya 10% dari kebutuhan Amerika. Artinya apa yang ia katakana hari ini akan berbeda lagi keesokan harinya, semisal hari ini mengajak perang, esok hari akan mengajak damai. Hal ini diungkapkan oleh Adi Harsono, ketua Asosiasi Bisnis Indonesia di Shanghai (IBAS).

Beberapa ahli menyarankan untuk menyelesaikan masalah kebijakan tarif impor yang memicu perang dagang adalah dengan menuntut China untuk lebih membuka diri terhadap pasar ekonomi Internasional, dan Presiden Xi Jinping diharapkan memenuhi janjinya untuk memenuhi janjinya untuk merubah China menjadi full market economy.

Rencana China untuk menjadi lebih terbuka terhadap kondisi ekonomi internasional telah diberitakan sebelumnya, yaitu China 2030, oleh Bank Dunia (World Bank) dan China’s Development Research Centre. Tim ekonomi dari presiden Trump dikatakan masih dalam tahap berdialog dengan pejabat perdagangan China, guna mencari jalan keluar untuk menghindari masalah lebih lanjut.

Namun, sebenarnya perang dagang antara China dan Amerika ini masih sangat mungkin untuk dihindari, syaratnya diperlukan kebesaran hati Presiden Trump. Mengingat presiden Trump dikenal sebagai sosok yang cenderung minim introspeksi dan kurang bisa menerima kesalahan.

Jika terus berlanjut, maka tidak bisa dipungkiri akan berdampak pada perekonomian Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya. Dimana ekspor baja, batu bara, dan kelapa sawit asal Indonesia akan terkena dampaknya.

Refrensi:
Morrison, Wayne M. 2018. Naik Ekonomi China: Sejarah, Tren, Tantangan, dan Implikasi bagi Amerika Serikat. CRS Report



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur - Unsur Pementasan Wayang Kulit

Petuah Jawa

Sekilas Tentang Puntadewa